Bismillah…
Sebuah kisah tentang Pak Haji
Langkah kakinya terlihat tegap, wajar jika melihat postur tubuhnya yang besar dan kekar. Tapak demi tapak yang ringan namun kokoh, berjalan ke mana pun tubuhnya membawa. Ke rumah makan, ke bioskop, ke pusat-pusat perbelanjaan dan ke tempat-tempat hiburan.
Hanya ada 1 tempat yang selalu enggan dituju. Tempat di mana lantunan adzan senantiasa dikumandangkan. Mungkin ia malu, karena lidah yang selalu kelu saat membaca firman-Nya. Sungkan, karena di usianya yang tak lagi muda, tak satu pun rangkaian sholat dapat ia kerjakan secara penuh. Pun bila berjamaah, kegagapannya akan mudah terlihat sedari awal kaki melangkah masuk ke dalam. Area mana dulu yang harus didatangi.
Tampangnya yang asli pribumi ditambah peci yang selalu dikenakannya, membuat orang-orang terbiasa menyapanya dengan sebutan Pak Haji. Padahal, jangankan Haji, untuk mengkaji agama pun ia sama sekali tidak berminat.
Terlahir dalam keluarga yang kental dengan unsur kejawen, ditambah dengan atribut berbau mistik yang sudah diturunkan turun-temurun, membuatnya melegalkan setiap rutinitasnya yang mengabaikan hak-hak Sang Pencipta.
Sampai suatu waktu…
“Ini kaki harus diamputasi. Lukanya sudah semakin menjalar, segera ya, diputuskan dengan keluarga lainnya. Saya ga bisa ambil resiko kalau infeksinya makin menyebar ke mana-mana.” Ga sampai 1 menit dokter bicara, tapi 1 menit itu efeknya akan terus ia tanggung di sisa usianya.
Perusahaan mana yang mau mempekerjakan orang cacat, pikirnya. Terlebih sudah 3 bulan ini ia dirumahkan. Beruntung dengan kondisinya yang seperti ini, masih ada kekasih yang setia menemani.
Sesal demi sesal bermunculan. Tidak ada lagi yang tersisa. Tak ada lagi teman berkeluh kesah. Tak ada uang, tak ada kawan. Kalaupun ada kawan, sampai batas mana ia akan menemani. Ke mana lagi tempat kembali jika bukan pada Sang Pencipta.
Terlihat sekelebat bayangan Qur’an di tengah tumpukan barang-barang yang tak terpakai. Sayangnya tak satu huruf pun sanggup ia baca. Bersyukur Qur’an tua dan lapuk itu masih ada terjemahnya. Lembar demi lembar ia baca sambil sesenggukan. Makin lama makin menyayat hati…
Wallahua’lam bishshowab.