Yang Mau Kita Obrolin:

Photo by Christian Bowen
Mertua Nyebelin itu, Nano-nano Rasanya
Punya Mertua nyebelin?
Seharian rasanya pingin uring-uringan terus. Mau ngapa-ngapain jadi nggak bebas. Gimana mau bebas? Wong tinggal juga masih di Pondok Indah Mertua.
Cerita Jani & Juna
(Siap-siap tarik nafas, karena tulisan ini akan cukup panjang ^_^).
1 Minggu Sebelum Pernikahan Jani dan Juna :
Bu Juni:
“Jan, Selamat ya. Saya sudah terima undangan kamu. Tapi maaf nih, Saya nggak bisa datang. Masih ada tugas kantor. Ini aja Saya baru pulang dari Manado. Biasa, kunjungan cabang akhir tahun.
Jani:
Wah, iya bu gapapa. Maaf ya Bu, main taruh undangan aja di meja Ibu. Takut lupa, keburu cuti duluan nanti.
Bu Juni:
Santai, Jan. Saya mau ucapin selamat aja sama kamu. By the way, nanti kamu tinggal di mana setelah nikah? Nggak bisa sering-sering diinepin anak-anak lagi dong kamu?
Jani:
“Hahaha… iya, Bu. Jadi agak jauh nih, sementara tinggal di rumah mertua dulu Bu, Ibunya Mas Arjuna minta ditemenin dulu sebelum kita punya rumah sendiri.”
Bu Juni:
“Wah, yakin Kamu, tinggal sama mertua?” (expresi Bu Juni yang skeptis dengan alis yang langsung terangkat sebelah).
“Hati-hati lho Jan kalau tinggal sama mertua. Ya bukan gimana-gimana sih, tapi salah gerak dikit aja nih, bisa jadi bahan omongan 1 keluarga besar. Pokoknya nih ya, harus pinter-pinter deh ambil hati mertua. Disiapin keperluannya. Dan meski Kamu udah kasih uang belanja, tetep aja harus dibeli bahan makanan yang stoknya kosong di rumah, nggak usah ditanya-tanya yang nggak ada.
“Trus itu tuh, jangan pernah deh pasang muka jutek di depan mertua gara-gara abis berantem sama suami. Apalagi sampai lampiasin ke mertua. Biarpun suami Kamu yang salah, tetep aja si Ibu nggak bakalan rela anaknya kenapa-kenapa gegara perempuan.”
Tetiba Jani teringat obrolan bareng Janet tempo hari soal mertuanya yang memperlakukan Janet layaknya saingan untuk mendapatkan perhatian Sang Pangeran.
Jani:
“Yah, saya sih Bismillah aja Bu. InsyaAllah calon mertua saya baik. Kami juga udah pernah bertemu beberapa kali.
Bu Juni:
Ya, pokoknya Kamu ati-ati aja deh saya wanti-wanti. Biar nggak kaya Janet tuh yang suka nangis di pojokan gegara ribut terus sama mertuanya.
Dilema Pondok Indah Mertua
Dilema Pondok Mertua Indah atau biasa dikenal dengan PIM (Pondok Indah Mertua), tidak jarang dialami oleh sebagian rumah tangga. Bahkan saking sulitnya menantu beradaptasi dengan orangtua barunya, nggak jarang menimbulkan bibit-bibit pertengkaran antara suami dan istri. Ibaratnya, sama orangtua sendiri saja belum tentu akur, apalagi sama orangtua pasangan.
Ada sebuah nasihat bijak yang mengatakan, “Bila memang sudah berumah tangga, tinggallah di rumah sendiri. Sekecil apapun rumahmu, itu adalah istanamu yang bisa Kamu atur sekehendakmu. Karena biar bagaimanapun, tidak akan mungkin ada 2 ratu dalam 1 istana. Tapi bila sudah hidup terpisah dari orangtua, jangan coba-coba tunjukkan kesusahan hidup di depan orangtua, atau ujung-ujungnya Kamu hanya akan mendengar, “Kan, apa Mamak bilang, tau gitu nggak usah keluar dari rumah”. 1 kalimat yang lagi-lagi bikin Kamu maju mundur untuk hidup lebih mandiri dengan pasangan.
Tapi walaupun begitu, selalu ada sebagian orangtua yang mewanti-wanti anaknya agar lekas meninggalkan rumah begitu sudah berkeluarga. Bukan karena tidak sayang, justru karena ingin anaknya belajar mandiri sedini mungkin membina keluarga kecilnya dan merasakan kenikmatan berumah tangga yang sesungguhnya dengan segala keterbatasan dan kecukupannya.
Namun bagaimana jika memang kondisi tidak memungkinkan untuk meninggalkan orangtua tercinta? Yaa, itu berarti memang ladang pahala Anda berdua ada di situ.
“Menikah ibarat pengabdian yang terus-menerus.”
“Maka salah seorang dari kalian hendaklah melihat di mana dia meletakkan kemuliaannya.”
(Sayyidah Aisyah R.A.)
Salah Siapa Kalau Nggak Akur?
Memang tidak mudah hidup 1 atap bersama mertua, tapi kalau Kita mau jujur, mungkin itu juga yang mereka rasakan, tidak mudah menerima orang baru dalam kehidupannya. Tidak mudah menyerahkan anak yang sekian lama diasuhnya ke tangan orang lain yang baru saja dikenalnya.
Bayangkan, tiba-tiba Kita hidup 1 atap dengan orang yang baru saja Kita temui, mesti pintar-pintar meredam ego. Bahkan, salah-salah respon bisa saja membuat salah satu pasangan sampai tidak kuat. Konflik-konflik kecil bisa menjadi sumber perkara besar yang berujung pada perceraian. Bercerai karena ketidakcocokan dengan orangtua pasangan. Antar pasangan sudah cocok, ternyata dengan mertua bermasalah.
Ada benarnya nasihat yang yang disampaikan Bu Juni di atas. Sebagai pasangan, Kita harus lebih pintar mengambil hati orangtua (mertua Anda adalah orangtua Anda juga bukan?). Sebagai pihak yang lebih muda, harus bisa memposisikan diri dengan lebih bijak, menahan emosi, melatih respon dan kepekaan dengan sudut pandang orangtua. Siapa tahu memang Kitanya yang salah. Atau setidaknya, mungkin banyak benarnya yang mereka sampaikan, hanya mungkin karena Kita hidup di generasi yang berbeda dengan orangtua, apa yang orang-orang tua Kita sampaikan jadi terkesan tidak lagi relevan dengan apa yang Kita hadapi.
Menikahi Pasangan = Menikahi Keluarga Besarnya
Yang nggak kalah pentingnya, jangan sampai Kita menjadi menantu yang terkesan hanya ingin bersama dengan Anaknya (pasangan Kita), tanpa mau menerima keluarga yang telah bersusah payah membesarkannya hingga menjadi seperti orang yang Kita cintai saat ini.
Bukankah esensi dan hikmah pernikahan salah satunya adalah menjalin hubungan kekeluargaan dan menguatkan pilar-pilar kasih sayang antara beberapa keluarga? Dengan menikahi pasangan berarti juga Kita harus bersiap untuk menerima keseluruhan keluarganya, teman-teman dan lingkungannya. Terhubung dengan bagian masa lalu dan masa depannya dengan segala koneksi yang mengelilinginya.
Perbedaan Suami & Istri Setelah Menikah
Sebagai Istri, ada perbedaan besar yang harus Kita pahami sedari awal antara laki-laki dan wanita dalam ikatan pernikahan dengan hubungan keluarga besarnya.
Seorang wanita akan mengubah ketaatannya yang semula berada pada kedua orangtuanya, kini:
- Orang yang pertama harus ditaatinya adalah Lelaki yang kini bertanggung jawab atasnya dan telah diyakininya untuk menjadi Imam Dunia Akhirat.
- Dari suami berlanjut ke Orangtua Suami (karena otomatis sang pria harus mengutamakan kedua orangtuanya – khususnya ibu, di atas segala-galanya dalam ketaatan berbalut agama),
- Baru kemudian kembali kepada orangtua istri.
Diriwayatkan dari Aisyah RA, beliau berkata:
Aku bertanya kepada Rasulullah SAW, “Siapakah orang yang haknya lebih utama untuk dipenuhi oleh seorang istri?” Rasulullah menjawab, “Suaminya.”Beliau bertanya kembali, “Siapakah orang yang paling berhak dipenuhi haknya oleh seorang lelaki?” Beliau menjawab, “Ibunya.”
(H.R. Al-Hakim)
Dan untukmu Suami, berbaik-baiklah pada pasangan. Karena bukan hal yang mudah bagi seorang wanita untuk memberikan kepercayaan pada seorang lelaki, mempercayakan masa depannya dunia akhirat dalam arahan dan kepemimpinanmu, bahkan sampai membuatnya rela meninggalkan semua kenyamanan yang selama ini telah didapatnya dari keluarga besar sebelum pernikahan Kamu berdua.
Sekalipun ada hal-hal yang tidak Kamu senangi dari istrimu, lihatlah lagi, pasti masih ada banyak hal lain yang menyenangkan hatimu. Tunjukkan jika memang Ibumu sudah mendidik dengan cara yang luar biasa, dengan mengajarkan anak-anaknya untuk selalu menghormati dan memuliakan pasangan dan keluarga kecilnya. Bukankah anak-anak yang baik adalah cerminan dari didikan orangtua yang juga baik?
Jika Kita sudah merasa yakin telah memilih pasangan yang terbaik, tentunya Kita juga meyakini jika pasangan yang bersama Kita saat ini, terlahir dan berasal dari lingkungan keluarga dan lingkungan pergaulan terbaik, sehitam apapun masa lalu yang membawanya. Seluruh background yang menjadikannya kokoh berdiri sejauh ini dengan sejuta pesonanya yang telah berhasil menaklukkan hati Kita.
Tidak ada alasan untuk ‘memunggungi’ mertua selama apa yang diangankannya masih ada dalam koridor tuntunan syari’ah.
Jangan sampai Anda menjelma menjadi menantu yang zholim dan terpaksa mengultimatum pasangan dan memberi pilihan: “Aku atau Orangtuamu???”
Adakah yang seperti itu? Banyakkkk…
Salahkah? Well, sebagai orang luar, Kita tidak pernah bisa menghakimi dan menyamakan 1 rumah tangga dengan rumah tangga lainnya. Seperti apa yang terjadi di dalam, hanya mereka yang benar-benar mengetahuinya.
Semoga Kita selalu dijauhkan dari segala hal yang berujung pada perpecahan dalam rumah tangga.
SEBUAH CATATAN : A REVIEW
Adalah Teh Wiwin Supiyah, Owner dari Shaliha Hijab, penulis buku “Sebuah Catatan”. Sebuah karya epik yang ditulis dengan ketulusan dan keterbukaan, berbagi cerita dari sudut pandang istri, tentang permasalahan rumah tangga yang dialaminya bersama pujaan hati sejak awal pernikahan, hingga berkali-kali membuatnya tersungkur bersujud dan bahkan sampai mempertanyakan kembali kasih sayang Sang Pencipta.
Pernikahan seharusnya membahagiakan bukan? Tapi tidak baginya. Setidaknya hal yang didambakannya tidak berwujud gratisan atau seperti promo-promo yang bertebaran di mana-mana. Butuh kerja keras yang layak sebelum akhirnya kebahagiaan itu datang menghampiri. Cobaan demi cobaan yang hadir bukannya membuat langkahnya semakin surut, tapi justru semakin memperkuat ikatan yang ada. Ikatan yang hanya mampu dijalani dengan sepenuh keimanan yang tulus pada Allah SWT.
Kurang lengkap rasanya bila hanya menyimak kisah Teh Wiwin dalam buku Sebuah Catatan saja. Sebagai penulis Best Seller yang karya-karyanya sudah sangat menjamur dengan concern pada hubungan antara 2 insan, Bunda Asma Nadia bahkan telah lebih dulu menorehkan lembar demi lembar kisah Teh Wiwin dalam bentuk fiksi “Bidadari untuk Dewa.’
Sebuah novel yang dapat dikatakan 90% isinya adalah kisah nyata. Tidak perlu banyak alur dan setting drama tambahan, karena kisahnya sendiri sudah merupakan bentuk drama dalam kehidupan nyata.
Chapter demi chapter kehidupan yang mengajarkan Kita bahwa seorang lelaki tidak terlahir begitu saja untuk menjadi iconic dan heroic. Butuh tempaan besar sekeras baja, dalam genggaman lembut dan kehalusan rasa seorang wanita.
Seperti banyak orang bilang:
“Di Balik Lelaki Hebat, Ada Wanita yang Amazing.”
“Kalau Mau Tahu Seperti Apa Lelakinya, Coba Tengok, Seperti Apa Wanita yang Bersamanya.”
Mau lihat sinopsisnya:
- Sebuah Catatan
- Bidadari untuk Dewa
Atau pingin punya bukunya: