Always start with Basmallah

Jadi Ibu Rumah Tangga, Kenapa Engga?

Bismillah…

Terus terang saya salut dengan perempuan-perempuan yang berani melepas pekerjaannya demi memfokuskan diri pada keluarga. Tidak mudah mengambil keputusan ini, dan tidak semua orang di sekeliling kita akan memahaminya, termasuk juga pasangan.

Sesekali saya dapati beberapa kenalan yang sering terlihat bingung dan cukup stress dengan peran barunya sebagai full time mother. Bagaimana tidak, biasanya punya banyak kegiatan untuk diurus dan banyak kenalan untuk berinteraksi, namun kini harus fokus di 1 tempat dan 1 kegiatan, padahal rutinitas sebagai ibu rumah tangga jelas akan sangat menyita waktu dan tidak pernah ada ujungnya.

Ini juga mungkin yang menjadi alasan bagi sebagian wanita dengan status ibu rumah tangga seakan jadi merasa terpenjara, tidak ada tempat pelarian lain sekedar untuk bernafas. Terutama jika suami pun tidak mau mengerti dengan kesibukan dan kepenatan istri sekaligus ibu dari anak-anak.

Semua urusan mulai dari kebutuhan rumah sampai pendidikan anak diserahkan sepenuhnya kepada istri. Suami hanya tahu setiap bulan sudah memberikan uang (nafkah), yang juga tidak dipikirkan untuk apa dan bagaimana saja larinya nafkah tersebut.

Bicara pernafkahan memang cukup pelik, setiap keluarga punya aturannya masing-masing dan kita tidak bisa begitu saja mengklaim 1 cara sebagai cara yang paling ideal dan jitu.

Namun begitu, saya pribadi tetap melihat jika kehidupan rumah tangga akan lebih stabil jika peranan nafkah memang diambil oleh suami sebagai kepala rumah tangga. Bukan karena suami lebih hebat dan superior, namun karena memang itu salah satu fungsi kepala rumah tangga dan di pundak lelakilah amanah itu diserahkan.

Herannya memang ada sebagian lelaki yang tidak menyadari kewajiban pemberian nafkah ini. Begitu menikah, “uangku yang uangku,” tidak memahami jika ada hak anak dan istrinya dari setiap rizki yang dia peroleh.

Kambali lagi dengan wanita yang memilih prioritas untuk fokus menjadi Ibu Rumah Tangga, akan lebih banyak waktu yang dapat dimanfaatkan untuk mengarahkan perkembangan pendidikan dan pertumbuhan di kecil, terutama dalam hal kedekatan emosi antara ibu dan anak. Meski bukan jaminan, jika anak yang diasuh ibu yang tidak bekerja akan selalu lebih baik dibanding dengan ibu yang bekerja. Tidak akan pernah ada yang bisa menjamin seperti itu, dan kenyataannya memang tidak selalu seperti demikian halnya.

Sekali lagi, itu pilihan. Pilihan untuk melepas semua gelar yang telah diraih, semua penghasilan pribadi yang biasanya mengalir setiap bulan, semua kenyamanan kerja di kantor dan hal lainnya yang telah dibangun. Berganti menjadi kerelaan untuk tetap berada di situasi ekonomi yang sama selama bertahun-tahun, sementara tetangga-tetangga yang lain mungkin sudah bolak-balik renovasi rumah, gonta-ganti mobil, wara-wiri liburan ke sana kemari dan memakai beragam outfit bermerk.

Namun akan sebanding dengan kepuasan melihat perkembangan anak di setiap waktunya, memastikan mereka tetap berada di jalurnya, bahkan jika memungkinkan selalu menjadi madrasah pertama dalam hal pendidikannya. Karena orang terdekat yang akan selalu mereka jadikan contoh dan tempat berkeluh-kesah adalah kedua orangtuanya.

Masih ingat dengan kisah Ibu Karen Agustiawan, ex. Direckur Pertamina (2014)? Beliau rela melepas gajinya yang saat itu mencapai 200 juta rupiah/ bulan (detik.com) agar bisa lebih dekat dan tidak lagi kehilangan moment dalam perkembangan anak-anaknya. Anak tetaplah anak, sedewasa apapun usianya. Tetap membutuhkan kehadiran kedua orangtua dalam perkembangan kehidupannya.

Menikah dan memiliki anak, merubah paradigma, diri kita saat ini bukan lagi milik kita sendiri, bahkan mungkin kita akan kehilangan sebagian besar kebebasan atas diri sendiri, prioritas berganti pada suami dan anak-anak. Ada sebuah anekdot ringan tentang ibu, “Semua orang di rumah boleh sakit, asal jagan ibu yang sakit. Nanti siapa yang mengurus bayi kecil dan bayi besar itu di rumah?”

Salam manis penuh cinta untuk semua wanita dan ibu di dunia, yang telah sukarela berkarir, terpaksa berkarir, maupun yang telah merelakan kesempatannya untuk berkarir, semua tidak lain adalah demi keluarga tercinta. Salam hangat penuh semangat untuk perempuan-perempuan terhebat.

Wallahu a’lam bisshowab.

dewi

Setiap Wanita punya cerita. Setiap manusia bisa bercerita. Setiap post di blog ini adalah rangkaian cerita kehidupan Kita, ya Saya dan Anda. Karena setiap Kita, melangkah di antara cerita 1 menuju cerita lainnya. Saat ini mungkin cerita Saya, besok bisa saja menjadi cerita Anda. *Writing Enthusiast* Selain mengelola laman dewifitriani.com, Saya pun aktif di samaraquran.com

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *